Perlu diketahui kami ini hanyalah orang biasa, bukan ustadz dan pengetahuan agama kami pun cuman yg ‘umum’ ( saya hanya mendapatkan pendidikan agama dari SD s.d SMU/Aliyah ). Walaupun kami teruskan dengan membaca2 buku dan mengikuti tausiyah etc..
Urusan halal dan haram, karena ini adalah masalah vital yang berhubungan dengan kepercayaan, sering kami diskusikan antara saya dan bundanya anak-anak. Terutama yang berhubungan dengan tulisan-tulisannya di bananatalk, dan yg paling populer salah satunya adalah urusan vaksin dan imunisasi.
Tentu saja urusan kehalalan ini kami anggap serius, amat sangat serius. Saya memilih bekerja sebagai freelance, dan menolak untuk bekerja di perusahaan apalagi di politik adalah salah satunya karena saya ingin banget menghindari mendapatkan income dari daerah-daerah yang abu-abu ( jadi saya yakin bahwa uang yang saya dapat, yang saya pakai untuk menghidupi keluarga adalah dari yang halal ).
Tapi kalau anda mencermati, kami cenderung bersikap dingin atau ‘tidak-menahu’ dalam diskusi tentang ke halal-haraman sesuatu ( misal. vaksin / imunisasi di bananatalk ). Kenapa ?
Karena kami memang tidak tahu
Yap, kami sadar untuk menjudge sesuatu menjadi halal atau haram dibutuhkan kompetensi dan pengetahuan yang cukup mendalam mengenai hal spesifik tersebut. Dalam hal vaksin dan imunisasi biarlah para ahli fikih bersama dokter dan peneliti beserta yang kompeten lainnya yang memutuskan hal tersebut. Kalau kami memang tahu vaksin tertentu dinyatakan haram tentu kami akan mencari alternatif lainnya.
Menghargai kompetensi dan memberikan wewenang yang proper kepada yang berhak
Suatu saat, seorang yang saya hormati ( beliau seorang Ustadz, yg Insya Allah ikhlas, walaupun berusia lebih muda dari saya ), ngomong kurang lebih sbb ( waktu kami ngobrol, dengan nada yg rada sarkastik ) :
.. lah mas Semua orang itu kan bisa jadi ustadz, seenggaknya sok jadi ustadz. Lha artis aja itu ngomong ‘begini-begitu’ [ saya sensor] , di TV . Kadang-kadang nyuplik Al-Qur’an lagi ..
. Apa artis tidak boleh menyampaikan ayat ? bukan itu masalahnya. Yang jadi masalah adalah ketika kita sok tahu dan menyampaikan sesuatu yang padahal salah, sehingga kita bisa menjerumuskan orang lain.
Oleh karena itu kami sangat hati-hati agar tidak menyampaikan sesuatu yang kami kurang kompeten. Dan kami sangat menghargai orang-orang yang memang mempunyai ilmu pada bidang masing-masing. Kalau urusan halal-haram vaksin atau makanan, tentu para dewan fikih dan dokter serta peneliti dapat mendiskusikannya dengan lebih baik, dan seterusnya.
Sama halnya ketika kita sinis dengan ‘sosok pakar tertentu’ , yang kepakarannya layak dipertanyakan, namun dengan nyamannya cas cis cus di media sok mengerti dengan menghadirkan angka-angka dan fakta-fakta yang mistis dan ga jelas darimana datangnya ( yang mengundang geli orang-orang yang betul-betul mengerti ). Begitupula kami tidak akan menggubris kalo ada yang bilang ini halal itu haram tanpa backing kompetensi yang cukup.
Bukan berarti menutup ruang diskusi, tapi kami yakin setiap diskusi agar bisa jadi berarti butuh level kompetensi dan mungkin penelitian pendahuluan. Sehingga diskusi nya menghasilkan sesuatu yang nyata dan bermanfaat, bukan obrolan angin-anginan yang hanya hangat sesaat terus lenyap. Anda tentu ingat tentan cerita Umar yang diprotes seorang perempuan ( perawan tua ) ketika Umar mengusulkan agar perempuan-perempuan waktu itu menurunkan ‘harga’ maharnya, atau cerita-cerita yang lain. Selalu ada tempat untuk berdiskusi. Tapi adalah bijak untuk mengetahui keterbatasan pengetahuan kita, menyadari apa yang kita tahu dan apa yang kita tidak tahu. Dengan begitu kita akan terus belajar, tanpa jadi takabur akan ilmu yang sudah kita kuasai …
One response
Do you want to comment?
Comments RSS and TrackBack Identifier URI ?
Trackbacks